Pagi itu, seperti biasa, aku pergi untuk menemui murid-muridku di smk pariwisata, sebuah yang dikelola oleh orang bali yang kebetulan berasal dari satu desa denganku. Sampai saat itu, smk ini masih menumpang di universitas tribhuwana tunggadewi; sebuah kampus yang banyak dihuni oleh saudara-saudara kita dari indonesia timur termasuk dari negeri tetaangga kita, Timor leste.
Dengan mengayuh sepede tua, aku menelusuri jalan di sela-sela perumahan Permata Indah. Namanya Permata Indah karena disana jalan-jalan diberikan nama batu-batu mulia seperti jamrud, intan, permata dsb. Tapi tetap saja menjadi perumahan yang mewah alias mepet sawah.
Tidak terlalu jauh. Hanya butuh 10 menit untuk sampai di sekolah itu dari koskosanku tercinta, dan aku pun menambatkan sepedaku di jajaran sepeda motor mahasiswa. Aku yakin dia tidak kalah bersaing dengan sepeda motor- sepeda motor di sana. Selain karena bukan kelasnya disana juga hanya ada 1 sepeda gayung...jadi paling beda. Aku pun masuk ke kelas dan bercengkrama dengan siswaku, baik yang laki maupun perempuan, yang ganteng dan yang agak ganteng, yang pinter dan yang sangat pinter, juga yang mampu mencuri hatiku ataupun yang baik karena tidak suka mencuri.
Waktu terus menjadi siang. Dan obrolanku dengan siswa belum habis juga sampai akhirnya jam pulang tiba. Aku ambil tas, dan kemudian mencari-cari siswa yang tadi aku ajak bicara. Aku jalan bareng pulang dengannya. Asyik bicara dengan anak-anak muda, punya pengalaman yang beda jauh dengan yang aku miliki.
Ketika sampai di gang 3, di kelurahan tlogomas ini, dia pun harus berbelok dan aku harus melanjutkan perjalananku menuju koskosan tercinta...aku cintai karena dia murah tapi ada di lantai 2 sehingga aku dapat menikmati pemandangan bukit putri tidur setiap hari. Aku cintai karena hamir 5 tahun tidak mampu aku berpisah darinya.
Sampai dikos, aku selalu rindu akan kerjaan sampinganku (entah mana kerjaan sampinganku- jual buku-jual sticker-atau mengajar di sma, karena semua memberikan penghasilan yang hampir sama. Cukup untuk mentraktir diriku sendiri sebungkus nasi pecel tiap pagi). Aku ambil meja kecil yang beralaskan kaca, dan mulai mengerjakan cutting sticker- cutting sticker yang telah aku desain dan pesan sendiri. Mengangkat sendiri cutting sticker itu memberikan keuntungan ganda, karena yang dibuang di konter-konter cutting sticker, masih bisa aku jaga sehingga dapat dijual lagi. Capek? Jelas iya. Tapi sangat menikmati. Karena aku bisa melihat Omkara setiap hari ataupun aku melihat Swastika setiap saat. Ini adalah pengendalian diri yang sangat sederhana, karena setiap kali salah angkat atau lengket satu sama lainnya sehingga tidak bisa digunakan, aku harus menahan diri sekuat tenaga untuk mengucapkan tidak ”naskeleng” sebuah ungkapan khas orang buleleng jika marah atau kagum. (lho..kagum kok ngumpat...tapi itulah buleleng. ). Jadi ini adalah perjalanan spiritual plus material, atau mungkin moksartham dan jagadhita. Hehe...berlebihan ah.
Aku lihat jam menunjukkan pukul 2.30 sore, dan aku belum makan. ”Ah cari makan dulu dah, lumayan dah dapet banyak sticker”. Tereaku dalam hati.
Aku bergegas mengambil uang dan baju (di kosan sering tidak pake baju) lalu pergi kebawah untuk mengambil sepeda biar cepat. Ternyata tidak ada. Bah ini kebiasaan anak kosan yang tidak baik. Pinjam sepeda tidak bilang-bilang. Pasti mereka mikir akau tidak butuh. Aku pun mangkel setengah mateng. Gimana tidak mangkel. Perut laper tiba-tiba sepeda raib tanpa keterangan yang kabur apalagi jelas. Lama aku tunggu kedatangan orang yang akan aku tuduh. 5 menit berlalu belum juga reda mangkelku. Ehhh dateng si Ius..panggilan temanku dari flores. Aku makin mangkel karena dia datang tidak membawa sepedaku. ”Pasti dia pinjamkan lagi” pikirku dalam hati. ” Ius...kemana kamu bawa sepedaku..aku mau makan nih..!!!”. tanpa tanya dia capek apa tidak , langsung aja aku damprat dia. ” lho siapa yang membawa sepedanya mas gede?? Saya tidak melihatnya dari tadi.” (perhatikan ucapan dia yang selalu sesuai dengan EYD). Aku tidak percaya dengan omongannya, walaupun dia tidak pernah berbohong, tidak percaya sekali-kali boleh aja dong. ” Siapa make sepedaku gak bilang-bilang...!!!”aku tambahkan ungkapan kesalku. Si Ius pun nambah g enak. Mau nyengir gak berani mau cemberut juga gak ada alasan. Aku langsung putuskan untuk berjalan saja. Aku tinggalkan temanku yang diam 999 bahasa. Biasanya aku berjalan santai dengan bernyanyi–nyanyi kecil. Tapi kali ini tidak. Aku ingin memberi kesempatan pada rasa kesalku untuk menunjukkan diri. Cutting sticker Omkara dan Swastika sudah ilang dari mataku apalagi dari pikiranku...tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh pengendara sepeda tua dari jaman jepang yang tiba-tiba muncul dari gang 5. Entah wahyu dari mana tiba-tiba juga aku ingat dengan sepeda yang aku tinggalkan di halaman depan sekolah sma ku. *(banyak kata tiba-tiba, berarti kejadian ini terjadi dalam waktu singkat ..mungkin 1.2345 x 10 -3 detik). Akhirnya aku mulai sadar dengan diriku dan mulai khawatir dengan sepeda bersejarah itu dan mulai bergegas menuju sekolahku. (ada 3 kata mulai yang muncul artinya ketiga kejadian ini terjadi berbarengan. Mungkin beda waktunya sekitar 1.2345 x 10 -3 detik).
Dari jauh bisa aku lihat sepedaku bersandar dengan gagah. Karena dia berdiri tegak ditengah lapangan yang panas tanpa bergeming sedikitpun. Makin dekat makin dapat aku lihat peleg depannya yang berkarat dan kontras dengan peleg belakang yang terbuat dari aluminium yang tampak mengkilap. Cerita tentang peleg ini ada di bagian yang lain.
Akhirnya aku pulang dengan sepedaku...beli makan...makan...kembali kekos ...dan melanjutkan kembali melihat omkara dan swastikaku...melanjutkan perjalanan spiritualku....menuju kesempurnaan kebebasan finansial...lho beda lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar