Kehidupan jaman 70-90 an, pasti menyisakan cerita-cerita lucu dimana batas kehidupan orang kota dengan orang desa sangat kentara. Beda dengan saat ini. Pengaruh kehidupan kota bukan lagi terjadi melalui kontak langsung melalui orang-orang yang yang mencari nafkah dikota yang kemudian pulang kedesanya, namun keberadaan televisi sudah membawa dampak yang besar bagi pembauran 2 sisi kehidupan ini. Cerita-cerita yang disajikan baik dalam bentuk pragmen dalam drama gong, arja, lagu pop, atau media lainnya, menggambarkan bagaimana penomena ini. Ambil contoh dalam sebuah lagunya yong sagita berjudul pekak lingsir, dimana diceritakan seorang kakek (pekak) yan tumben berkeliling kota. Ditengah jalan dia membei es kojong (kojong adalah sebuat bagi roti kering yang digunakan untuk menaruh es). Dan yang mengejutkan adalah si pekak tadi bemaksud untuk mengembalikan kojong tersebut. Bagi orang era itu, kelucuan saat itu, menjadi konsumi yang segar, walupun jarang kelucuan dapat dirasakan lucu untuk berulang-ulang. Tapi kelucuan yang disuguhkan melalui sebuah lagu menjadi daya jual bagi lagu tersebut.
Nah ini pula yang dialami nenek saya yang tinggal di suatu kecamatan di sulawesi tengah yaitu tolai. Beliau adalah salah satu peserta trasmigrasi swakarsa pada era 70an yang saat itu sudah berusia sekitar 80an.
Saat dia pergi ke palu, yaitu ibu kota provinsi sulteng, dia disapa oleh seorang sopir taksi (sebutan mobil umum-bukan taksi yang seperti dikota besar).
” ayo bu...ayo bu...ibu mau kemana??. Mari naik taksi saya” ajak sang sopir taksi
nenek pun menjawab dengan bahasa indonesia yang ia dengar dari mulut ke mulut setelah indonesia merdeka.”saya meninggal di tolai..tulung pak sopir barang sayae....”
Pak sopir jadi kaget...”ini orang beneran atau hantu????”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar